Minggu, 15 Maret 2009

Karya : Bavi Kurniawati *

Dua Kampung yang Tak Pernah Akur
(www.koranpendidikan.com)

Ketika kericuhan pertama di Gang Ponegoro memecah keheningan, Rehan sedang berjalan kaki menuju rumahnya di Kenongo. Selintas masuk dalam pikirannya rasa takut dan was-was tentang keselamatan ayah dan ibunya. Ah, pasti ayah akan hati-hati menjaga ibu, pikirnya kemudian, tadi kupesankan pada mereka agar tak usah keluar rumah. Teriakan penduduk yang dipicu perkelahian salah satu warga yang membuat onar, kedua belah kampung itu mengambil tindakan sendiri.
Hingga akhirnya kedua kampung yaitu kampung Gang Ponegoro dan Gang Kahuripan menjadi jalan yang amat sunyi pula. Karena di Gang Pangkubuwono inilah mereka berbondong-bondong mengambil tindakan pemberontakan terhadap kampung-kampung itu. Para warga kampung Pangkubuwono semua berlindung di rumah mereka masing-masing. Rehan yang melihat kejadian tersebut, terpaksa ikut-ikutan berlindung dan masuk ke sebuah rumah warga yang tak dikenalnya. Tetapi orang-orang rumahan itu amat baik, dan menyilahkan dia ikut mereka berlindung.
Bersama dengan tuan rumah dia mengintip dari balik jendela, melihat ke jalan besar yang masih sunyi dan sepi. Napasnya kini semakin terang, sesaat setelah ia berlari mencari perlindungan. Tetapi rasa takut belum bisa pergi dari dalam hatinya. Seorang lelaki renta yang dilihatnya dari balik jendela sedang melintas menyeberangi jalan besar tersebut.
Sepuluh menit mereka mengintai, jalanan masih juga sepi. Rehan merasa, bahwa sekarang adalah waktu yang aman untuk pulang dan juga berpamitan. Dia berpaling kepada tuan rumah, dan berkata, dengan diiringi senyuman pula.
“Pak saya mau pulang,“
“Jangan, tunggu dulu dik. Mereka pasti akan bermain golok disini, nanti kalau adik keluar pada saat gerombolan itu datang untuk beradu mulut. Dikiralah kita mau ikut campur urusan mereka,”
“Oh, iya pak. Perkenalkan nama saya Rehan, saya seharusnya sudah pulang. Karena anak murid ngaji saya sudah menunggu,”Jelas Rehan
“Saya Prianto orang kampung sini,” jawab tuan rumah dan menjabat tangan Rehan.
Sementara itu, di seberang jalan di depan tiang listrik dua orang pemuda dari kampung yang berbeda tadi sama-sama mengacungkan golok, di belakang pemuda itu ada juga gerombolan mereka yang masing-masing membawa senjata tajam.
“Ada yang datang,” bisik tuan rumah kepada Rehan
Rehan menundukkan kepalanyadan melirik keluar jendela memperhatikan kedua belah pihak yang sama-sama mempunyai emosional.
Dari gang yang mereka bisa lihat, lelaki tua berjalan, lelaki tua itu tidak bersenjata. Melihat kedua orang di depan jendela, lelaki itu datang dan berbisik ke dekat jendela dan berkata,
“Hei kau! Telepon polisi. Mereka nanti bisa saling menghabisi satu sama lain! Hati-hati!“ Belum habis pak tua itu berbicara, tiba-tiba datang lagi segerombolan pemuda yang ikut campur dalam masalah kedua kampung itu. Rehan sekarang mendengar suara benda saling bertabrakan. Ia ingin tahu apa yang mereka lakukan dan mencoba menghentikan pertikaian tersebut, tetapi ia tak mungkin melakukan semua itu.
Rehan tak bisa menggambarkan perasaannya yang galau, apalagi dadanya kini bertambah sesak. Sekarang bukan karena sudah berlari cepat, tetapi karena ketakutan menahan semua itu. Ia melirik tuan rumahnya. Tetapi, tuan rumah itu sudah tidak ada, kini ia tinggal sendirian di dekat jendela. Sebentar ia berniat ingin keluar. Tetapi diserapnya pikiran itu, bahwa dirinya tidak bisa lari kemana-mana.
Rehan lupa akan apa yang dilakukannya itu membahayakan dirinya sendiri, karena keasyikan melihat tontonan di depan mata. Mungkin saja ia tertembak ataupun tergolok oleh tangan-tangan berandal itu. Seseorang maju mundur menyabitkan goloknya ke orang yang dituju.
“Astaghfirullah!“ Rehan berseru dalam hatinya terkejut dan ketakutan. Sekilas ia terbayang ayah dan ibunya. Apa yang terjadi bila ia digolok mati sekarang.
Lima orang kini terkapar mati, ia bisa melihatnya dari kejauhan, karena rumah itu di seberang jalan yang kini ricuh. Sebentar kemudian tuan rumah tadi kembali ke tempat Rehan mengintip, karena pertikaian berhenti. Rehan berpaling ke tuan rumah di sebelahnya. ”Saya kira sudah aman. Terima kasih banyak atas kebaikan tuan. Saya pamit pulang dulu,” kata Rehan.
Dengan mengucapkan syukur, dia keluar rumah. Di depan rumah sebelah orang sedang berkumpul memutari seseorang yang tergeletak di jalanan. Salah satu orang yang tergeletak itu mengerang-ngerang kesakitan, bukan orang itu yang membuat ricuh. Tetapi, karena ia keluar dan mencoba menghentikan pertikaian itu, makanya ia tersabit di tangan para pemuda itu. Ia jadi ngeri melihat tangan orang itu yang hampir putus. Tak lama seorang wanita menangis di hadapan suaminya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain minta tolong kepada orang lain untuk menghubungi ambulan.
Wanita itu masih tetap menangis, warga menjadi iba.
“Sudahkah dipanggil ambulans?” Tanya seseorang
“Sudah,” jawab seorang lainnya, “Sebentar juga ambulans itu pasti datang,” sambungnya
Beberapa orang sudah menunggu cukup lama di tepi jalan, sampai akhirnya ada yang memutuskan, orang yang terluka tadi agar dibawa ke dalam rumah seseorang dulu. Tetapi, ada juga yang mencegahnya. “Sebaiknya jangan, biarkan disini dulu. Sampai ambulannya datang,” katanya lagi.
Tiba-tiba Rehan menangis dan mengerang-ngerang karena saking takutnya. Dalam hatinya timbul perasaan tidak enak ketika membayangkan dirinya berlumuran darah. Dia tersentak kaget ketika orang berteriak, “Itu ambulannya datang!”
Para tenaga medis turun dengan dibantu sopirnya mengangkat usungan itu keluar dari mobil. Sopir dan tenaga medis itu meletakan usungan di sebelah orang yang terluka tadi.
“Cepat angkat dia, perban dulu tangannya!” perintah pemimpin mereka.
Orang yang terluka sudah diletakkan usungan itu, dan Rehan beserta orang-orang yang melihat semua itu., tiba-tiba terdengar lengkingan. “Tolong! Toloooong!!!”, “Korbannya juga warga kampung Pangkubuwono!” bersahut-sahutan bunyi itu. Belum lama teriakan itu lenyap, terlihat kepulan asap. Astaga! Rumah para warga banyak yang dibakar.
“Cepat keluar!” teriak pak RT kepada para warganya yang masih berada di dalam rumah.
“Kebakaran! Kebakaran!“ teriak salah satu warga. “Cari selang, kita padamkan apinya! Cepat!“ teriak pak RT lagi. Timbul rasa sayang Rehan, ia ikut-ikutan memadamkan api. Ia sadar bahwa TV yang selalu ditontonnya bukanlah rekayasa. Rehan kini semakin takut, tapi orang di dekatnya membujuk agar dirinya tidak merasa takut lagi.
“Kita sudah terbiasa begini, Dik,”kata orang itu kepada Rehan. Orang itu adalah Pak Kitoyo terdiam sebentar dan berkata, “Kemarin lusa juga warga kampung sebelah beradu mulut disini, sampai-sampai korban berjatuhan lebih dari dua puluh orang,”
Setelah api padam, para tenaga medis langsung pergi setelah mengangkat orang yang terluka tadi. Kini korban, bertambah semuanya dibawa ke RS Kasunggah Hati. Rehan akhirnya pulang, setelah memandang sekelilingnya, tetapi tak satupun orang yang bisa dikenalnya. Sudah tak tahu kemana orang yang dikenalnya tadi. Ia pulang dengan kesukaran hati.
“Kenapa kau, sudahkah kau gila?” tanya tetangga sebelah rumahnya dengan sinis, tapi ia tetap berlalu.
Ketika ia benar-benar tiba di depan rumahnya, ia bertanya kepada ibunya. “Ummi, mengapa anak didikku pulang?” tanya Rehan. “Kau ditunggu anak-anak cukup lama, maka kupulangkan saja mereka! Tapi yang datang sedikit, cuma dari kampung sini,” balas Ummi. Rehan mengangguk perlahan, ia tahu muridnya kebanyakan dari Gang Pangkubuwono. Mereka pasti takut datang kesini, karena gang mereka sedang ada kericuhan. Rehan lalu mengambil sirup stroberi dan menumpahkannya ke lantai. Warna merah itu mengingatkan ia dengan darah yang mengucur dari tangan sebelah kiri orang tersebut.
Dia menutup mukanya dengan tangannya. Tiba-tiba ia menggeprak meja dan berteriak. “Ya Allah ampuni semua dosa hamba!”

* Pelajar Kelas VIII E SMPN 7 Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar