Sabtu, 21 Maret 2009

Cerpen: Endah Tri Utari Amboina

Lelaki dan Layang-Layang
(http://jawapos.com)

Kota ini terdiam dalam keheningan dan dinginnya malam. Sepertinya, kota tempat aku menata mimpi mulai tertidur lelap dan yang terasa hanya kesendirian. Salah satu hal yang aku senangi adalah berpikir dalam gelap, bahkan menangis dalam gelap. Aku pejamkan mataku kuat, mulai membayangkan seperti apa gelapnya kuburku nanti. Segera aku buka mata secepatnya.

Peristiwa lima bulan yang lalu benar-benar masih melekat kuat dalam ingatan, bahkan hingga detik ini. Sebenarnya, jiwaku memberontak dengan apa yang telah aku perbuat terhadap diriku sendiri. Waktu itu aku benar-benar tak berdaya, hanya diam lalu menangis. Bagiku, dunia tak ada lagi. Banyak hal yang harus dipersiapkan ketika cinta hadir karena cinta akan mengubah banyak hal. Beberapa teman terdekatku pun mengatakan bahwa mereka tak merasakan diriku yang tegas dan berani ambil keputusan.

"Mungkin kamu diguna-guna!" Ain mulai tak sabar karena tak satu pun kutanggapi dengan serius. "Kamu denger nggak sih! Kamu nggak bisa kayak gini terus, sudah satu minggu!"

Dalam gelap aku tersenyum mengingat semua yang telah terjadi. Rapuhnya aku karena kehilangan Aji membuatku tak menghiraukan tugas-tugas yang menumpuk, melupakan teman-teman yang selalu ada untukku. Tapi, hatiku tak bisa memungkiri semuanya, aku mengharapkannya dan malam ini aku merindunya. Rindu yang kutujukan untuk dia yang telah membuat peta hidupku berubah dalam sekejap. Dia yang mampu menguasai hari-�hariku tanpa syarat aku menyerah. Menyerah untuk memberikan cinta terindah yang aku simpan dalam diam.

Kesempatan emas yang aku tunggu-tunggu berlalu begitu saja. Karena yang paling berharga saat itu adalah aku tak ingin Aji menjadi milik orang lain. Hal gila yang telah aku lakukan adalah harus mengatakan cinta kepadanya agar wanita yang dipilihnya adalah aku. Tanpa hati dia menerimaku hanya satu jam, lalu memutuskanku dan mengatakan bahwa dia tidak memilihku.

Sebenarnya dia tahu bahwa aku memiliki perasaan yang lain untuknya, tak lagi menganggapnya sebagai teman. Semakin aku mengingat apa yang telah dilakukannya untukku, semakin aku merindunya.

"Kamu tahu, waktu kecil aku suka mengejar layang-layang. Pernah aku sudah mendapatkannya, tapi teman-teman masih berambisi untuk memilikinya."

"Akhirnya?" Aku memotong ceritanya tentang masa kecilnya.

"Aku dapat layang-layang rusak. Sedih rasanya waktu itu." Matanya menerawang bersama masa kecilnya

"Aku ingin seperti layang-layang itu," kataku.

"Aku ingin cintamu seperti layang-layang itu. Aku ingin kamu tak akan melepas aku begitu saja." Dia pun tersenyum. Senyum yang bermakna bahwa dia akan melepasku.

Keputusan yang telah dibuatnya tetap saja membuatku tak menerima. Sebagai laki-laki sejati dia tidak memiliki keberanian bersikap sedikit pun. Aku labil begitu pula dirinya.

"Aku sudah memutuskan Eva," katanya dalam telepon pagi itu.

Aku di antara senang dan sedih. Sebelum aku mengatakan bahwa aku suka kepadanya, dia telah menyatakan suka kepada wanita lain, yaitu Eva. Aku hadir dalam waktu yang sangat tidak tepat. Waktu itu aku meminta kepadanya tidak meninggalkanku untuk sementara. Dia pun menyanggupi. Selama dia ada bersamaku, dia menyadari bahwa sebenarnya ada cinta untukku.

"Dia marah. Sebab, menurutnya aku plin-plan dalam bersikap. Aku memang mengatakan suka kepadanya, tetapi dia tidak berani berkomitmen, dan aku tidak ingin hubungan yang terjalin tanpa arah. Komitmen itu aku dapatkan darimu."

"Eh, ada SMS dari Eva," katanya tiba-tiba, aku terhenyak, takut.

"Dia memintaku untuk menghubunginya segera, kamu gak usah takut, nanti aku hubungi lagi. Gak apa-apa kan, kamu jangan takut."

Hampir satu jam lebih aku menunggunya untuk menghubungiku lagi. Entah apa yang terjadi.

"Eva mengubah keputusan. Dia berani berkomitmen." Tanpa kuminta dia langsung menjelaskan. Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa. "Kamu pasti bisa jalani semuanya." Itu kata-kata terakhirnya dalam telepon.

Malam makin menua, tak terasa pipiku basah mengingat semuanya. Dia adalah lelaki layang-layang yang terbang tinggi dan pergi bersama angin. Dan aku tidak akan pernah tahu ke mana dia pergi untuk mendarat, mendaratkan hatinya. Awalnya aku ingin hanya mencintainya dalam diam, semakin aku menyimpannya semakin aku rapuh karenanya.

Begitu banyak kata-kata yang dia ucapkan, tapi tak satu pun yang ditepatinya. Ternyata aku belum berkemas untuk melupakan semua tentangnya. Malam ini aku insomnia untuk sekian kalinya. Kunyalakan lampu kamar dan aku cari semua tentang dia. ***


*Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang

Minggu, 15 Maret 2009

Karya : Bavi Kurniawati *

Dua Kampung yang Tak Pernah Akur
(www.koranpendidikan.com)

Ketika kericuhan pertama di Gang Ponegoro memecah keheningan, Rehan sedang berjalan kaki menuju rumahnya di Kenongo. Selintas masuk dalam pikirannya rasa takut dan was-was tentang keselamatan ayah dan ibunya. Ah, pasti ayah akan hati-hati menjaga ibu, pikirnya kemudian, tadi kupesankan pada mereka agar tak usah keluar rumah. Teriakan penduduk yang dipicu perkelahian salah satu warga yang membuat onar, kedua belah kampung itu mengambil tindakan sendiri.
Hingga akhirnya kedua kampung yaitu kampung Gang Ponegoro dan Gang Kahuripan menjadi jalan yang amat sunyi pula. Karena di Gang Pangkubuwono inilah mereka berbondong-bondong mengambil tindakan pemberontakan terhadap kampung-kampung itu. Para warga kampung Pangkubuwono semua berlindung di rumah mereka masing-masing. Rehan yang melihat kejadian tersebut, terpaksa ikut-ikutan berlindung dan masuk ke sebuah rumah warga yang tak dikenalnya. Tetapi orang-orang rumahan itu amat baik, dan menyilahkan dia ikut mereka berlindung.
Bersama dengan tuan rumah dia mengintip dari balik jendela, melihat ke jalan besar yang masih sunyi dan sepi. Napasnya kini semakin terang, sesaat setelah ia berlari mencari perlindungan. Tetapi rasa takut belum bisa pergi dari dalam hatinya. Seorang lelaki renta yang dilihatnya dari balik jendela sedang melintas menyeberangi jalan besar tersebut.
Sepuluh menit mereka mengintai, jalanan masih juga sepi. Rehan merasa, bahwa sekarang adalah waktu yang aman untuk pulang dan juga berpamitan. Dia berpaling kepada tuan rumah, dan berkata, dengan diiringi senyuman pula.
“Pak saya mau pulang,“
“Jangan, tunggu dulu dik. Mereka pasti akan bermain golok disini, nanti kalau adik keluar pada saat gerombolan itu datang untuk beradu mulut. Dikiralah kita mau ikut campur urusan mereka,”
“Oh, iya pak. Perkenalkan nama saya Rehan, saya seharusnya sudah pulang. Karena anak murid ngaji saya sudah menunggu,”Jelas Rehan
“Saya Prianto orang kampung sini,” jawab tuan rumah dan menjabat tangan Rehan.
Sementara itu, di seberang jalan di depan tiang listrik dua orang pemuda dari kampung yang berbeda tadi sama-sama mengacungkan golok, di belakang pemuda itu ada juga gerombolan mereka yang masing-masing membawa senjata tajam.
“Ada yang datang,” bisik tuan rumah kepada Rehan
Rehan menundukkan kepalanyadan melirik keluar jendela memperhatikan kedua belah pihak yang sama-sama mempunyai emosional.
Dari gang yang mereka bisa lihat, lelaki tua berjalan, lelaki tua itu tidak bersenjata. Melihat kedua orang di depan jendela, lelaki itu datang dan berbisik ke dekat jendela dan berkata,
“Hei kau! Telepon polisi. Mereka nanti bisa saling menghabisi satu sama lain! Hati-hati!“ Belum habis pak tua itu berbicara, tiba-tiba datang lagi segerombolan pemuda yang ikut campur dalam masalah kedua kampung itu. Rehan sekarang mendengar suara benda saling bertabrakan. Ia ingin tahu apa yang mereka lakukan dan mencoba menghentikan pertikaian tersebut, tetapi ia tak mungkin melakukan semua itu.
Rehan tak bisa menggambarkan perasaannya yang galau, apalagi dadanya kini bertambah sesak. Sekarang bukan karena sudah berlari cepat, tetapi karena ketakutan menahan semua itu. Ia melirik tuan rumahnya. Tetapi, tuan rumah itu sudah tidak ada, kini ia tinggal sendirian di dekat jendela. Sebentar ia berniat ingin keluar. Tetapi diserapnya pikiran itu, bahwa dirinya tidak bisa lari kemana-mana.
Rehan lupa akan apa yang dilakukannya itu membahayakan dirinya sendiri, karena keasyikan melihat tontonan di depan mata. Mungkin saja ia tertembak ataupun tergolok oleh tangan-tangan berandal itu. Seseorang maju mundur menyabitkan goloknya ke orang yang dituju.
“Astaghfirullah!“ Rehan berseru dalam hatinya terkejut dan ketakutan. Sekilas ia terbayang ayah dan ibunya. Apa yang terjadi bila ia digolok mati sekarang.
Lima orang kini terkapar mati, ia bisa melihatnya dari kejauhan, karena rumah itu di seberang jalan yang kini ricuh. Sebentar kemudian tuan rumah tadi kembali ke tempat Rehan mengintip, karena pertikaian berhenti. Rehan berpaling ke tuan rumah di sebelahnya. ”Saya kira sudah aman. Terima kasih banyak atas kebaikan tuan. Saya pamit pulang dulu,” kata Rehan.
Dengan mengucapkan syukur, dia keluar rumah. Di depan rumah sebelah orang sedang berkumpul memutari seseorang yang tergeletak di jalanan. Salah satu orang yang tergeletak itu mengerang-ngerang kesakitan, bukan orang itu yang membuat ricuh. Tetapi, karena ia keluar dan mencoba menghentikan pertikaian itu, makanya ia tersabit di tangan para pemuda itu. Ia jadi ngeri melihat tangan orang itu yang hampir putus. Tak lama seorang wanita menangis di hadapan suaminya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain minta tolong kepada orang lain untuk menghubungi ambulan.
Wanita itu masih tetap menangis, warga menjadi iba.
“Sudahkah dipanggil ambulans?” Tanya seseorang
“Sudah,” jawab seorang lainnya, “Sebentar juga ambulans itu pasti datang,” sambungnya
Beberapa orang sudah menunggu cukup lama di tepi jalan, sampai akhirnya ada yang memutuskan, orang yang terluka tadi agar dibawa ke dalam rumah seseorang dulu. Tetapi, ada juga yang mencegahnya. “Sebaiknya jangan, biarkan disini dulu. Sampai ambulannya datang,” katanya lagi.
Tiba-tiba Rehan menangis dan mengerang-ngerang karena saking takutnya. Dalam hatinya timbul perasaan tidak enak ketika membayangkan dirinya berlumuran darah. Dia tersentak kaget ketika orang berteriak, “Itu ambulannya datang!”
Para tenaga medis turun dengan dibantu sopirnya mengangkat usungan itu keluar dari mobil. Sopir dan tenaga medis itu meletakan usungan di sebelah orang yang terluka tadi.
“Cepat angkat dia, perban dulu tangannya!” perintah pemimpin mereka.
Orang yang terluka sudah diletakkan usungan itu, dan Rehan beserta orang-orang yang melihat semua itu., tiba-tiba terdengar lengkingan. “Tolong! Toloooong!!!”, “Korbannya juga warga kampung Pangkubuwono!” bersahut-sahutan bunyi itu. Belum lama teriakan itu lenyap, terlihat kepulan asap. Astaga! Rumah para warga banyak yang dibakar.
“Cepat keluar!” teriak pak RT kepada para warganya yang masih berada di dalam rumah.
“Kebakaran! Kebakaran!“ teriak salah satu warga. “Cari selang, kita padamkan apinya! Cepat!“ teriak pak RT lagi. Timbul rasa sayang Rehan, ia ikut-ikutan memadamkan api. Ia sadar bahwa TV yang selalu ditontonnya bukanlah rekayasa. Rehan kini semakin takut, tapi orang di dekatnya membujuk agar dirinya tidak merasa takut lagi.
“Kita sudah terbiasa begini, Dik,”kata orang itu kepada Rehan. Orang itu adalah Pak Kitoyo terdiam sebentar dan berkata, “Kemarin lusa juga warga kampung sebelah beradu mulut disini, sampai-sampai korban berjatuhan lebih dari dua puluh orang,”
Setelah api padam, para tenaga medis langsung pergi setelah mengangkat orang yang terluka tadi. Kini korban, bertambah semuanya dibawa ke RS Kasunggah Hati. Rehan akhirnya pulang, setelah memandang sekelilingnya, tetapi tak satupun orang yang bisa dikenalnya. Sudah tak tahu kemana orang yang dikenalnya tadi. Ia pulang dengan kesukaran hati.
“Kenapa kau, sudahkah kau gila?” tanya tetangga sebelah rumahnya dengan sinis, tapi ia tetap berlalu.
Ketika ia benar-benar tiba di depan rumahnya, ia bertanya kepada ibunya. “Ummi, mengapa anak didikku pulang?” tanya Rehan. “Kau ditunggu anak-anak cukup lama, maka kupulangkan saja mereka! Tapi yang datang sedikit, cuma dari kampung sini,” balas Ummi. Rehan mengangguk perlahan, ia tahu muridnya kebanyakan dari Gang Pangkubuwono. Mereka pasti takut datang kesini, karena gang mereka sedang ada kericuhan. Rehan lalu mengambil sirup stroberi dan menumpahkannya ke lantai. Warna merah itu mengingatkan ia dengan darah yang mengucur dari tangan sebelah kiri orang tersebut.
Dia menutup mukanya dengan tangannya. Tiba-tiba ia menggeprak meja dan berteriak. “Ya Allah ampuni semua dosa hamba!”

* Pelajar Kelas VIII E SMPN 7 Malang

Minggu, 01 Maret 2009

Karya: Enik Farida*

(www.koranpendidikan)

Mengapa Babi Diharamkan

Hush…hosh…hush…suara angin berlomba-lomba menuju ufuk timur, daun-daun melambai, mentari siang bersembunyi di balik awan. Burung-burung bernyanyi di perbukitan, tangkai-tangkai rumput padang menari dengan riak-riak desir air yang ditiup angin semilir silir berganti. Terpaan ombak berusaha untuk menyapu jutaan pasir. Dan “Subhanallah…” aku menyadari ternyata masih banyak keindahan yang diciptakan Allah. Kini aku dan kawan-kawan satu tim telah sampai di kaki gunung sebelah utara. Di perjalanan, kami melihat beragam binatang yang telah dilindungi oleh pawang. Jeruji-jeruji hitam tertancap di hadapan binatang-binatang itu, mulai dari yang paling kecil hingga terbesar. Tiba-tiba aku terbelalak ketika aku melihat seekor hewan yang sedang bermandikan Lumpur dengan suara yang agak histeris yang membuat bulu kudukku berdiri. Namun setelah kuamati dalam-dalam ternyata hewan itu hewan babi, dan ….ketika coba kuperhatikan lagi ternyata babi itu sedang menyantap kotorannya sendiri dengan lahapnya, hingga habis tanpa sisa. “Ihh….” “Cheli…” Terdengar suara nyaring yang memanggil namaku yang ternyata laura, “kamu sedang melihat hewan babi itu ya?” tanyanya, “Iya” jawabku, “aku heran aja…” “Heran..?! Kenapa heran?!” Laura jadi tambah bingung, “Coba lihat aja, babi itu sedang memakan semua…” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Laura sudah memotong “ Ya memang sih babi itu adalah hewan yang tidak tertandingi kerakusannya dibandingkan hewan lain, jadi dia memakan semua yang ada dihadapannya termasuk kotorannya sendiri” jelas Laura. “Tapi kalau udah kayak gitu, kenapa ya banyak orang yang suka memakan dagingnya?” tanyaku sembari memalingkan wajahku dari babi itu. “Memangnya kamu belum pernah makan daging babi, chel?” mendengar pertanyaan itu aku tersentak kaget. Karena bagiku, memakan daging babi itu diharamkan, mungkin tidak bagi laura yang beragama lain denganku.
Malam hari tampak sang bulan menebarkan senyum dan bintang yang setia memancarkan cahaya. Aku termenung menyaksikan keindahan malam yang sunyi. Entah mengapa suasana malam ini mengingatkannku pada peristiwa tadi siang. Dibawah sinar remang cahaya lampu, aku membaca-baca buku masalah hewan-hewan yang diharamkan dalam agama islam. Hampir 4 jam aku membolak-balik buku, menaruh lagi, ku buka lagi…namun sampai kantuk menyerangku. Aku belum menemukan jawaban sama sekali.
Pagi ini, sepulang sekolah aku sudah bertekad untuk pergi ke perpustakaan umum, untuk mencari jawaban dari pertanyaanku semalam. Dan siang yang terik ini, keinginanku sudah hampir terjawabkan. Perpustaaan Umum telah ada di depan mataku. Dan buku itu itu telah ada ditanganku, ‘Mengapa Babi Diharamkan’, secepat kilat ku buka buku itu, halaman demi halaman ku baca dengan cermat, dan akhirnya kusadar, banyak hal yang belum aku ketahuii, termasuk tentang hewan babi ini. Ternyata dalam ilmu kedokteran modern telah menetapkan bahwa memakan daging babi sangat membahayakan manusia di seluruh kewasan, terutama kawasan yang beriklim panas. Sebagaimana telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah bahwa memakan daging babi menyebabkan timbulnya cacing-cacing pita yang sangat membahayakan. Meski begitu, penciptaan babi ini sangat memberi hikmah bagi manusia dan ilmu pengetahuan, salah satunya bagi manusia adalah sebagai penguji kesabaran dan keimanan manusia.

Akhirnya, setelah mengetahui itu semua, aku kini bisa tidur nyenyak lagi, setelah pikiranku sempat terusik oleh penasaran yang sangat tinggi.


*Siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang

Karya: Anugrah Juta*

(www.koranpendidikan.com)

Terpuruk

Kini kulelah dalam jalanku
Kumeragu tak berdaya,
Kapankah ku bisa melangkah lagi?

Tak ada yang hiraukanku...
Lelah...lelah...lelah
Akhirnya ku mencoba berdiri sendiri,
Walaupun aku pernah terjatuh..


*Siswa SMAN 2 Malang

Karya: Moch. Zidni Nabil. A*

(www.koranpendidikan.com)

GURUKU

Guruku tersayang, guruku tercinta
Tampamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal
Guruku terima kasihku

Nakalnya diriku
Kadang buatmu marah
Namu, segala maaf
Kau berikan


KU INGIN TERBANG

Kuingin terbang seperti burung
Menembus angkasa
Berteman angin berteman burung
Oh.......betapa senangnya

Oh......kuingin terbang
Hinggap diranting
Melihat pemandangan
Betapa senangnya hatiku


*Siswa MTs Al Ma'arif 01 Singosari Malang

Karya: NiEzHa*

(www.koranpendidikan.com)

BAYANG

Awalnya tak tau,,
Awalnya tak mengerti,,
Awalnya tak terlihat..

Sesosok bayang kian indah
Sesosok bayang nan semu
Yang pernah ku temui
Yang tak pernah ku pandangi.

Ku coba tuk mengerti,,
Ku coba tuk mencari,,

Akhirnya kutemukan bayang itu
Bayang yang menjadi petaka bagiku
Bayang yang mengucilkan diriku
Bayang yang membawa diriku jauh….
Meninggalkan kerumunan yang sibuk memperebutkan bayang semu itu..

Lari…lari...dan terus berlari
Hingga ku sandarkan diriku pada bayang itu sendiri….

Ku hempas badai yang menerjang
Ku bangun benteng pertahanan
Dengan segala kekuatanku
Dengan segala sisa kesabaranku

Aku takut…
Sangat takut…
Apa yang terjadi..
Mencekamku
Membuat diriku tak berdaya
Menyeret ku kedalam kerumunan masalah,,
Yang membuat diriku,,
Lemah, tak BERARTI !!!


*SiswaSMUN 10 Malang dan Juara 1 Festival Baca Puisi SMA/SMK/MA Se-Malang (acara GALERI PUISI ’08)

kirim ke teman | versi cetak